Minggu, 11 Juni 2017

10 Contoh Berita Pendidikan

Pendidikan karakter melalui pendekatan budaya dinilai efektif
Pewarta: Indriani
Jakarta (ANTARA News) - Pendidikan karakter melalui pendekatan budaya dinilai efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan pada diri anak, kata Direktur Global Sevilla School Jakarta Robertus Budi Setiono.

"Pendekatan budaya menjadi salah satu sarana yang efektif untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak, seperti pada malam ini kami melakukan pementasan teater cerita rakyat Malin Kundang. Tujuannya agar para siswa dapat mengerti dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kisah itu," ujar Budi di sela-sela pementasan teater Malin Kundang di Jakarta, Sabtu.

Dia menjelaskan melalui pergelaran teater cerita rakyat itu, para siswa dapat mengekspresikan bakat mereka. Serta bisa melakukan olah gerak, suara, serta bisa mengekspresikan kemampuan mereka.

"Selain itu, kepercayaan diri mereka juga meningkat."

Budi menjelaskan penanaman pendidikan karakter haruslah melalui praktik langsung, serta tak melulu belajar di kelas.

"Siswa bisa mengeksplorasikan kemampuan mereka melalui pergelaran seperti ini. Mereka yang melakukan riset langsung ke Sumatera Barat, melakukan aransemen musik dan menulis skenario. Anak dilibatkan dalam semua hal."

Di kesempatan yang berbeda, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan kepala sekolah penting dalam keberhasilan penguatan pendidikan karakter.

Mendikbud mengatakan kepala sekolah harus mendorong agar guru tidak sekedar ceramah di kelas tetapi juga menjadi inspirator dan pendidik.

Pada 2017, Kemdikbud menargetkan penerapan PPK di sebanyak 9.830 sekolah di 34 provinsi. Jumlah tersebut meningkat dari 2016 yang hanya sebanyak 542 sekolah di 34 provinsi.

Kemdikbud menargetkan pada 2020, seluruh sekolah sudah menerapkan PPK. PPK memiliki lima nilai utama karakter pelajar, yakni, religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas.
Editor: Ruslan Burhani

Pendidikan jangan hanya kedepankan aspek intelektual
Pewarta: Indriani
Jakarta (ANTARA News) - Pendidikan tidak hanya mengedepankan aspek intelektual saja, tapi juga harus mengembangkan daya cipta, rasa serta karsa peserta didik, demikan kata akademisi dari Global Sevilla.

"Sistem pendidikan yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, sangat tepat karena tak hanya mengedepankan aspek intelektual, namun juga harus mengembangkan daya cipta, rasa, serta karsa bagi peserta didik. Sehingga dapat menghasilkan generasi muda yang humanis dan berkarakter," ujar Direktur Global Sevilla, Robertus Budi Setiono, di Jakarta, Sabtu.

Ia mengatakan bahwa pihaknya selalu berusaha menerapkan program pembelajaran yang menyenangkan. Selain belajar di kelas, sejumlah kegiatan juga dirancang guna mengasah keterampilan para siswa.

Salah satunya adalah melalui pementasan drama musikal "Charlie and Chocolate Factory", yang diperankan oleh 280 siswa SD Global Sevilla, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

"Kalau bicara pendidikan Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara, belajar sambil bermain, kita menerapkannya," kata dia.

Melalui pementasan drama tersebut ada nilai edukasi yang dapat dikembangkan, yakni merangsang budaya literasi atau membaca.

Selain itu, nilai positif lainnya adalah dapat mempelajari karakter peran dan berekspresi.

"Pendidikan yang humanis harus terus dikedepankan melalui pendidikan karakter," katanya.

Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan siswa, mengasah rasa, dan dapat dorong anak untuk mengimplementasikan atas ilmu yang didapat.

"Ada banyak nilai-nilai moral baik yang dapat dijadikan contoh dari cerita-cerita yang ada," tuturnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa kepada para siswa pihaknya selalu menekankan untuk saling menghargai perbedaan dan keberagaman.

(T.I025/C004)
Editor: Ruslan Burhani

Sekolah berasrama berpotensi bentuk karakter unggul
Pewarta: Zita Meirina
Jakarta (ANTARA News) - Sekolah berasrama memiliki andil dalam pembentukan karakter unggul lulusan yang umumnya memiliki kemandirian, bertanggung jawab melalui sikap taat aturan, kejujuran, hubungan baik dengan orang lain, kata Ketua Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara) M. Rachmat Kaimuddin.

"Organisasi asrama maupun sekolah ternyata juga mendukung pembentukan karakter unggul para murid. Siswa yang terbiasa mengikuti organisasi baik di sekolah atau asrama menjadi lebih mandiri, bertanggung jawab, sopan, mempunyai rasa hormat, peduli terhadap teman sehingga secara keseluruhan sekolah berasrama telah menerapkan semua pilar-pilar pendidikan berbasis karakter," katanya menjawab pers di Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut dikatakannya dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter pribadi unggul, yakni manusia-manusia Indonesia yang memiliki prestasi tinggi dibarengi budi pekerti yang baik.

"Karakter pribadi unggul ini diperlukan agar Indonesia mampu berkompetisi dengan negara-negara lain dan bahkan memenangkan persaingan global. Dalam konteks Indonesia, salah satu komponen dari karakter pribadi unggul adalah karakter kebangsaan dan kebhinnekaan. Hal ini penting mengingat identitas bangsa Indonesia yang tersusun dari ribuan suku bangsa dengan beragam budaya, tradisi dan agama," tambahnya.

Lebih lanjut dikatakannya, SMA Taruna Nusantara di Magelang merupakan salah satu perintis sekolah berasrama. SMA Taruna Nusantara didesain secara khusus untuk mendidik pemuda-pemudi Indonesia agar memiliki keunggulan di tiga aspek yaitu akademis, kesiapan jasmani, dan kepribadian. Berdiri pada tanggal 14 Juli 1990 sebagai bentuk kerjasama TNI dan Taman Siswa.

"SMA Taruna Nusantara kemudian menjadi Kawah Candradimuka manusia-manusia Indonesia agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai kemahiran modern lainnya dengan tetap berkepribadian Pancasila," katanya menegaskan.

Sebelumnya dalam diskusi publik bertema Peran Sekolah Berasrama dalam Membentuk Karakter Pribadi Unggul yang Berjiwa Kebangsaan dan Kebhinnekaan yang diselenggarakan Ikatan Alumni Taruna Nusantara (Ikastra) pada Selasa (16/5), pengamat pendidikan Ki Darmaningtyas mengatakan agar sistem sekolah berasrama bisa berjalan baik, bentuk kelembagaannya harus sekolah publik dan bukan sekolah swasta. "Hal tersebut untuk menjamin terjaganya kualitas baik dari sisi input, proses, maupun output."

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner dan Kadiv Sosialisasi KPAI Erlinda mengingatkan orang tua yang menitipkan anaknya di sekolah berasrama tidak lantas lepas tanggung jawab. Sebagian besar waktu tumbuh kembang anak sesungguhnya dihabiskan bersama keluarga.

Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber terkait sekolah berasrama, antara lain Ahmad Rizali (Pendiri Sekolah Berasrama Internat Alkautsar Parung Kuda Sukabumi, Ki Darmaningtyas (Pendidik Taman Siswa dan Pengamat Pendidikan), dan Erlinda, M.Pd (Komisioner dan Kadiv Sosialisasi KPAI).

(T.Z003/T007)

Editor: Ruslan Burhani

Pramuka dinilai mampu bangun karakter anak
Pewarta: Indriani
Jakarta (ANTARA News) - Akademisi dari Global Sevilla Pulo Mas, Jakarta Timur, Robertus Budi Setiono mengatakan Pramuka dapat membangun karakter anak.

"Pramuka merupakan implementasi langsung dari pendidikan karakter," ujar Budi di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan Pramuka sangat baik untuk mengajarkan kepada anak tentang kepemimpinan, nasionalisme, kebhinekaan, dan serta bagaimana bertahan hidup di alam bebas.

Dia mengatakan sebagai sekolah internasional maka pihaknya tetap berkomitmen untuk menjadikan Pramuka menjadi ekstrakurikuler bagi peserta didik. Bahkan, diharapkan sekolah-sekolah internasional lainnya juga mendukung program kepramukaan.

"Pramuka akan kita dorong agar sekolah-sekolah internasional lain ikut mendukung Pramuka sebagai bagian pendidikan karakter Indonesia," jelas dia.

Sementara itu, Ketua Gugus Depan Jatayu Timur Global Sevilla, Eva Riana mengatakan pihaknya merayakan ulang tahun gugus depan dengan menggelar lomba bersama pramuka se-Jakarta Timur.

"Tujuannya untuk menjalin semangat kebersamaan dan kebhinekaan antara sesama Pramuka. Melalui Pramuka ,kita menyatukan perbedaan," kata Eva.

Uniknya dalam kegiatan tersebut terdapat 30 pramuka difabel, dari sejumlah sekolah luar biasa (SLB). Hal itu menunjukkan bahwa kegiatan Pramuka juga dapat diikuti oleh anak-anak berkebutuhan khusus.

"Kegiatan itu juga diikuti oleh adik-adik berkebutuhan khusus, sebagai wujud tidak ada perbedaan dalam Pramuka. Mereka juga merupakan bagian dari generasi emas Indonesia," ungkap Eva.

Melalui aktivitas Pramuka, anak-anak dapat membangun rasa kebersamaan serta saling tolong-menolong.

"Sesuai dengan misi Pramuka, dimana melakukan kegiatan di alam terbuka dengan dasar rasa kasih sayang, yang bertujuan agar adik-adik kita dapat saling membantu satu sama lainnya," imbuh Eva.

Menurut Eva, melalui kegiatan Pramuka akan tercipta proses pembentukan karakter anak Indonesia yang jauh lebih baik.

"Karena pendidikan karakter itu intinya adalah proses, dimana Pramuka menjadi kegiatan yang efektif," kata Eva.

Terkait dengan kegiatan Pramuka di Global Sevilla, dijelaskan, pihaknya secara aktif mengikuti agenda nasional hingga internasional. Bahkan, beberapa murid pernah ikut serta dalam Jambore Pramuka Dunia di Jepang.

(T.I025/A011)
Editor: Ruslan Burhani

Pelajar SMPN 21 Praktikkan Toleransi

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
JawaPos.com – Remaja adalah sekelompok orang yang mencari jati diri. Demikian pula siswa SMP. Dalam proses pencarian jati diri tersebut, peran agama tidak bisa dilepaskan begitu saja. SMPN 21 Surabaya mempunyai cara tersendiri menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Miniatur kebinekaan itu berada di SMPN 21. Sekolah di kawasan Jambangan tersebut mempunyai 1.200 siswa dari kelas VII hingga kelas IX. Sebanyak 76 siswa di antaranya beragama Nasrani. Empat siswa beragama Hindu. Selebihnya merupakan pelajar pemeluk agama Islam. Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SMPN 21 Kun Hayanah Hayati, guru agama Nasrani Paulus Sardikun, dan guru agama Hindu I Wayan Artawa ikut berperan membimbing mereka.
Toleransi di antara mereka terjalin cukup baik. Bukan hanya antarsiswa di internal sekolah, tetapi juga siswa di lintas sekolah. Terutama dengan para siswa di SMPN 22. SMPN 21 dan SMPN 22 memang kerap melakukan kegiatan kolaboratif.
Kepala SMPN 21 Chamim Rosyidi Irsyad menyatakan, sikap toleransi perlu ditumbuhkan sejak dini. Para siswa harus diajarkan saling menghormati dan menghargai. Di sekolahnya toleransi tersebut dijaga agar terjalin kondusif. Misalnya, ketika ada siswa Nasrani yang sedang berjalan membawa Injil, siswa lain tidak mengganggu. Demikian juga sebaliknya. ”Menghormati keyakinan yang berbeda itu sangat asyik,” tuturnya.
Meski begitu, ujar Chamim, dia percaya urusan keyakinan adalah urusan individu masing-masing. Namun, yang harus tumbuh adalah rasa saling menghormati di antara mereka. Bukan hanya antarsiswa seagama, tetapi juga yang berbeda agama. Selama ini, dalam buku-buku pelajaran, toleransi antarumat beragama tersebut sudah diajarkan. ”Tapi, yang tidak kalah penting itu praktiknya,” katanya.
Praktik menumbuhkan sikap toleransi tersebut bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya, melalui kegiatan kolaboratif antarsiswa. Bakti sosial ke panti asuhan, misalnya. Chamim melibatkan siswa untuk kegiatan bakti sosial. Empati para siswa ditumbuhkan. Mereka diajak mencari sendiri panti asuhan yang akan didatangi.
Para siswa muslim bisa mencari panti asuhan yang berlatar belakang nonmuslim. Demikian juga sebaliknya. Para siswa yang nonmuslim bisa mencari panti asuhan yang berlatar belakang muslim. Kegiatan itu pun sudah berjalan dengan baik. ”Supaya mengenal, toleransi harus dipraktikkan,” ucapnya. Harapannya satu. Para siswa diajak saling memahami bahwa pada dasarnya semua manusia adalah saling membutuhkan. ”Perdamaian pun bisa terjaga,” jelasnya.
Urusan Kesiswaan SMPN 21 Sapta Meiningsih menyebutkan, pembinaan perilaku para siswa juga dimulai ketika pagi. Bagi siswa muslim, ada salat Duha. Kegiatan itu dilakukan bergantian antara siswa laki-laki dan perempuan. Jika siswa laki-laki sedang salat Duha, siswa perempuan melaksanakan kegiatan literasi di kelas.
Para siswa, terutama yang muslim, juga diajak berlatih kultum singkat. Yakni, dengan memaknai dan memahami surat-surat dalam Alquran. Kultum tersebut disampaikan para siswa kepada siswa lain dengan bimbingan guru agama. ”Itu juga melatih percaya diri, bisa belajar jadi ustad,” ungkapnya.
Bukan hanya siswa muslim, siswa nonmuslim juga melakukan kegiatan keagamaan di waktu yang sama. Para siswa Nasrani dan Hindu melaksanakan kajian keagamaannya masing-masing di ruang yang berbeda. Ada doa bersama di aula bagi siswa Nasrani. Demikian juga siswa yang beragama Hindu. Ada bimbingan khusus dari guru agama Hindu di sekolah. ”Anak-anak remaja sekarang, apalagi dunia modern, basis agama harus kuat,” tuturnya. (puj/c20/nda)

Siswa SD Belajar Bahaya Narkoba, Obat Terlarang Semakin Sulit Dikenali

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
Ada yang berbeda dalam rangkaian acara Pondok Ramadan di SDN Airlangga 1 Surabaya pada Senin (5/6). Selain kegiatan keagamaan, ada sesi belajar tentang bahaya narkoba untuk siswa kelas IV dan V. Semua siswa siap mendapatkan bekal ilmu dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Surabaya.
SEJAK pukul 09.00, siswa-siswi yang mengenakan baju muslim duduk lesehan untuk mengikuti penyuluhan. Mereka antusias. Tidak sedikit yang mencatat.
Rahmatika Ramadhan, penyuluh dari bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat BNN, terlebih dahulu menyapa para siswa. Pancingan pertanyaan tentang narkoba memantik semangat anak-anak. Mereka berebut menjawab saat ditanya tentang obat-obatan berbahaya itu. ”Sudah dengar tentang narkoba?” tanyanya. Anak-anak langsung kompak menjawab, ”Sudaaaaaah.”
Meski demikian, sekadar tahu tidak bisa menghindarkan anak-anak dari bahaya narkoba. Tika lantas menjelaskan bahwa saat ini narkoba semakin sulit dikenali. Apalagi, para pengedar kian lihai menyisipkannya dalam bentuk makanan. Salah satunya, dalam bentuk jajanan anak.
Dengan pembukaan itu, anak-anak kian penasaran. Memang, pengetahuan tersebut merupakan hal baru bagi 225 peserta cilik. Narkoba, lanjut Tika, kini berubah dalam beragam bentuk yang tidak terduga. Meski demikian, narkoba tetap bisa dihindari. Karena itu, upaya pembekalan diri harus diketahui sejak dini. Termasuk bagi anak-anak SD yang sering menjadi sasaran empuk peredaran narkoba dalam bentuk jajanan.
Beragam contoh jajanan yang terindikasi mengandung narkoba ditampilkan dalam penyuluhan itu. Misalnya, permen-permen dengan bentuk aneh yang rupanya mengandung narkoba. ”Hindari yang mencolok atau bentuknya aneh,” ujarnya.
Memang, bagi anak-anak, bentuk-bentuk yang tak biasa justru menarik perhatian. Hal itu dimanfaatkan para pengedar narkoba untuk memasarkan dagangannya.
Tika juga mengimbau siswa untuk berhati-hati dalam memilih pergaulan. Faktor lingkungan, menurut dia, menjadi faktor terjerumusnya anak-anak ke lembah konsumsi narkoba. ”Jangan sering bermain ke warnet atau warkop tanpa pantauan orang tua,” tambahnya.
Selain itu, anak-anak harus berhati-hati dalam mencari informasi. ”Kalau perlu dan ingin tahu, tanyakan info narkoba ke guru dan orang tua,” imbuhnya.
Meskipun materi masih terbilang baru, orang tua Bernika Julia Marsela sudah melakukan upaya antisipasi. ”Nggak jajan sembarangan kok selama ini, dibawain bekal,” ujar siswi kelas V itu. Pengetahuan tentang cara mengenali jajanan yang mengandung narkoba, bagi dia, adalah hal yang baru dipelajarinya. Dia akan lebih berhati-hati saat akan jajan.
Kepala SDN Airlangga 1 Agnes Warsiati mengatakan, pembekalan tentang narkoba sangatlah penting. Apalagi, peredaran narkoba merambah anak-anak. ”Jadi, anak-anak memang ingin kami bekali cara membedakan jajanan yang berbahaya dan yang aman,” katanya. (kik/c7/nda)

Melatih Gemar Membaca–Menulis, Beri Reward Yang Rajin ke Perpustakaan

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
JawaPos.com – Membiasakan anak didik untuk rajin membaca dan menulis juga dilakukan SD Al Falah Assalam. Mereka membentuk wadah kegiatan ekstrakurikuler yang dinamai Peci. Kependekan dari penulis cilik.
Ada 50 anak yang tergabung dalam Peci. Mereka diberi latihan khusus soal penulisan. ”Rutin seminggu sekali setiap Jumat mereka belajar bersama,” terang Kepala SD Al Falah Assalam Muhammad Sholehudin.
Caranya, siswa dibagi menjadi dua kelompok. Yakni kelompok besar dan kecil. Kelompok besar berisi siswa kelas III hingga kelas V. Sedangkan kelompok kecil terdiri atas siswa kelas I dan II. Karena beda tingkat, sudah pasti cara pembelajarannya juga berbeda.
Sholehudin mengatakan, untuk materi pertama, siswa diminta menulis bebas. Misalnya, di dalam kelas terdapat peta Indonesia. Nah, anak didik di dalam kelas boleh membuat tulisan yang terkait dengan peta Indonesia itu. ”Bisa puisi, cerpen, ataupun komik,” lanjutnya.
Setelah ”pemanasan”, barulah siswa belajar dalam sebuah proyek penulisan. Misalnya, dalam bulan ini mereka diberi proyek membuat kumpulan tulisan nonfiksi. Dalam satu bulan, siswa harus belajar banyak tentang menulis nonfiksi. Saat ada kesulitan, mereka bebas untuk berkonsultasi kepada guru pembimbing.
Sambil mengerjakan, siswa mendapat ilmu secara langsung saat praktik. Misalnya terkait dengan ejaan serta cara membuat judul yang menarik, alur cerita, hingga kalimat yang efisien. ”Tema proyeknya berbeda-beda,” terang Sholehudin.
Sebagai bentuk apresiasi sekaligus wadah untuk menyalurkan karya mereka, pihak sekolah memuat tulisan para siswa di majalah sekolah yang bernama L-Fikr. Ada yang dicetak khusus untuk memuat seluruh tulisan anggota Peci. Ada juga tulisan anggota Peci yang digabung dengan kumpulan tulisan dari guru. ”Majalahnya sudah terbit sejak 2015,” terang Waka Kesiswaan SD Al Falah Assalam Antoni. Majalah setebal 70 halaman tersebut terbit tiap semester.
Untuk bisa menulis dengan baik, dibutuhkan ide yang variatif. Karena itu, siswa didorong untuk rajin ke perpustakaan. Bagi yang rajin ke perpustakaan, pihak perpustakaan sekolah akan memberikan apresiasi khusus setiap semester. ”Macam-macam reward-nya, seperti buku maupun seperangkat alat tulis,” lanjut Antoni.
Anak akan lebih bangga, orang tua pun senang. Juga, target mewujudkan 100 persen siswa SD Al Falah Assalam punya kebiasaan membaca bisa segera terwujud. (uzi/c11/ai)

Cegah Bosan, Ajak Murid Baca di Rooftop

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
Membaca dan menulis membutuhkan pembiasaan. Dengan berbagai cara, pihak sekolah melatih siswa agar terbiasa melakukan hal itu. Sebagai bentuk reward, hasil karya siswa diterbitkan menjadi buku dan majalah.
NARASWARI Dite dan Rayya Aliya Yudistiro berkesempatan menyampaikan story telling di hadapan rekan-rekannya Senin (5/6). Kegiatan penunjang literasi tersebut berlangsung di perpustakaan SD Vision School, Waru. Saat itu, Rayya bercerita tentang pengalamannya berlibur ke Malang awal bulan ini. Sementara itu, Naraswari mendongengkan cerita kelinci.
Keduanya sangat ekspresif dalam bercerita. Mimik wajah dan gerakan tangan turut mendukung cara mereka bercerita. Siswa lainnya pun hanyut dalam cerita yang dibawakan.
”Belajar dengan story telling ini rutin kami lakukan di perpustakaan,” terang Haryanto, pustakawan SD Vision School. Tujuannya, melatih siswa agar berani menyampaikan isi buku yang mereka baca. Semakin lancarnya cerita yang disampaikan menunjukkan bahwa mereka memahami buku yang dibaca. ”Kegiatan ini merangsang siswa supaya mau membaca. Sebab, mereka tidak ingin malu dan tidak paham saat giliran story telling,” jelasnya.
Pada momen tertentu, siswa diminta membuat ulasan dari setiap buku yang mereka baca di perpustakaan. Jenis bukunya bebas. Latihan tersebut juga menjadi cara agar siswa terbiasa menulis. Lama-kelamaan, tulisan mereka lebih tertata. ’’Setelah tulisan dikumpulkan, pustakawan membantu mengecek tulisan siswa,’’ ucap Haryanto. Setiap tulisan akan dievaluasi. Selanjutnya, hasil evaluasi disampaikan kembali kepada anak didik. Saat proses menulis, siswa juga didampingi.
”Biar lebih variatif, terkadang siswa diajak menonton film di perpustakaan. Lalu, latihan menuliskan inti dari film yang mereka tonton,” imbuh pria asli Nusa Tenggara Barat itu.
Agar kegiatan menulis dan membaca tidak membosankan, pihak sekolah menggelar perpustakaan dadakan pada hari-hari tertentu. Pada momen tersebut, buku di perpustakaan dibawa ke sejumlah titik di sekolah. Siswa bisa membaca dengan suasana baru. ”Misalnya, kami bawa buku ke rooftop atau ke depan sekolah. Siswa bisa baca buku di sana,” ujar Haryanto.
Hal itu berlaku bagi seluruh siswa. Khusus siswa yang punya minat khusus dalam menulis, SD Vision School mempersilakan mereka mengikuti ekstrakurikuler (ekskul) yang bernama Membaca dan Menulis Buku (MMB).
Seluruh anggota MMB dilatih cara menulis buku. Kumpulan tulisan mereka dicetak dalam bentuk buku dan diterbitkan secara luas. ”Kami pernah menerbitkan buku karya siswa yang berjudul The Sun Flower in Paris,” tutur Yunus Achmadi, guru pembina ekskul MMB. Buku tersebut berupa antologi cerpen setebal 104 halaman yang diterbitkan Alif Gemilang Pressindo.
”Biasanya, kami melatih siswa menuliskan pengalaman pribadi,” kata Yunus. Dengan begitu, siswa tidak sulit mencari ide tulisan. Sebab, yang mereka tulis adalah pengalaman pribadi. Alur, detail, suasana, dan penokohannya tergambar jelas dalam benak mereka.
Murid juga bisa menuliskan hasil imajinasi atau hal-hal yang pernah mereka dengar. Baik dari cerita orang maupun dari buku yang dibaca. ’’Yang penting, rutin menulis. Setiap hari, harus ada yang ditulis,’’ imbuh Yunus. (uzi/c18/ai)

Masuk SD Seriang TK, SDN Bubutan 4 Sambut Calon Siswa

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
JawaPos.com – Sekolah tak melulu soal bangku dan buku. Ataupun beragam aturan dan hal-hal lain yang tidak menyenangkan. SDN Bubutan 4 Surabaya menghadirkan suasana yang berbeda dan menyenangkan lewat kedatangan Paman Badut.
Bagi kebanyakan anak, badut jadi idola. Apalagi badut yang bisa mendongeng. Pengajaran nilai-nilai kebaikan dalam keseharian memang paling pas diselipkan lewat dongeng. Hal itu menjadi keunikan yang diterapkan di SDN Bubutan 4.
Senin (29/5) badut sengaja ditampilkan pada hari pertama penerimaan peserta didik baru. Anak-anak yang baru saja menyelesaikan TK dikenalkan pada jenjang sekolah dasar. Maklum, kegiatan di TK memang masih didominasi bermain. Tak jarang, masuk SD menjadi momok tersendiri.
Benar saja, anak-anak tampak bergembira menyimak aksi badut yang mendongeng. Paman Badut membawakan kisah fabel dengan beragam boneka peraga. Anak-anak kian antusias mencermati setiap runtutan cerita. Di sela-sela itu, ada aksi sulap hingga menyanyi bersama.
Mariana, salah satu orang tua murid, mengaku senang dengan kegiatan tersebut. ”Itu anak saya yang paling depan. Ikut heboh loncat-loncat sama badut,” ujarnya. Kegiatan mendongeng oleh badut tersebut, menurut dia, sangat membantu untuk menyelipkan hal positif kepada anaknya. ”Apalagi, dongengnya tentang jadi anak baik. Sekalian mengajari anak,” imbuhnya.
Harris Rizki, si Paman Badut, memang membawakan banyak kisah. Salah satunya pesan untuk tidak serakah. Hal itu sengaja dipilih untuk menanamkan sejak dini pada anak agar menjadi pribadi yang peduli dan mau berbagi. Harris ingin memberi kesan pertama yang menyenangkan pada calon siswa SD tersebut. ”Ini lho SD, tetap bisa asyik meski sudah lepas dari TK,” tambahnya.
Kepala SDN Bubutan 4 Ahmad Nurhalim sengaja menghadirkan atmosfer menyenangkan. Segi lingkungan, lanjut dia, tak kalah diperhatikan. Banyak inovasi di bidang pemberdayaan lingkungan yang diciptakan sekolah tersebut.
Salah satunya gerebeg pasar. Siswa diajak blusukan ke pasar untuk mengumpulkan sayuran sisa yang kemudian diolah sebagai kompos. Itulah upaya belajar mengolah hal-hal yang dianggap sampah. ”Kami bawa ke sini untuk diolah di tong komposter,” katanya. (kik/c6/nda)

Ekskul Film Indie Bikin Murid Mandiri dan Kemampuan Berkembang

EDITOR : SURYO EKO PRASETYO
Pembuatan film indie turut mencuatkan nama SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Berkat film karya siswa tersebut, sejumlah penghargaan didapat.
DI perpustakaan SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Senin (29/5), Donny Indra Kusuma bercerita tentang film Mak Crit Mak Plekentur yang diproduseri. Film yang digarap belasan anak kelas V dan kelas VI itu berkisah tentang Fajar dan Vero, si anak kota, saat berlibur ke desa. ’’Dua anak ini bermain ke sawah dan bertemu Fatur, si anak desa. Mereka bertiga bermain bersama,’’ ujarnya.
Dalam film tersebut, mereka ditampilkan tengah menikmati penganan bernama gatot. Mereka juga memainkan tari jaranan. Di sisi lain, Fatur juga diajari cara menggunakan pomade. ’’Film humor mengenai kehidupan sehari-hari. Ending-nya mereka bersama-sama ke masjid,’’ kata siswa kelas VI Umar tersebut.
Selain film itu, terdapat belasan karya lainnya yang sudah mereka buat. Di antaranya, Batik Safira, Jangan Tahayul, Memancing Kesabaran, dan Gotri. ’’Minimal dalam satu semester itu anak-anak ekskul film indie bisa membuat dua film,’’ tutur pembimbing ekskul film indie Fajar Rosyidah.
Tiga film tersebut pernah mendapatkan penghargaan tingkat nasional dalam Muhammadiyah Education Award. Film berjudul Batik Safira menjadi runner-up lomba film pada 2013. Adapun Jangan Tahayul mendapat runner-up pada 2014. Film MemancingKesabaran berhasil menjadi juara III dalam event serupa pada 2015.
’’Tahun 2016 tidak ada kompetisinya,’’ kata Rosyidah, sapaan akrab Fajar Rosyidah. Kompetisi film tingkat SD masih sangat jarang di tingkat Jawa Timur maupun nasional. ’’Itu saja kami ikut lomba tingkat junior. Saingannya anak-anak SMP juga,’’ tambahnya.
Untuk mengikuti ekskul tersebut, siswa harus lolos audisi. Salah satunya yang punya bekal tentang dunia perfilman dan kemauan tinggi. ’’Saat audisi itu juga langsung ditentukan, tergabung dalam kelompok produksi atau kelompok talent,’’ ucap Rosyidah.
Misalnya, saat audisi pandai bermain peran dan bisa memainkan beragam ekspresi wajah, bisa jadi siswa tersebut masuk kelompok talent. Sementara itu, yang punya kemampuan mengoperasikan kamera, berimajinasi tinggi untuk membuat cerita, dan bisa dasar editing bisa jadi masuk kelompok produksi. ’’Nah, nanti pembinaannya berbeda,’’ lanjutnya.
Siswa yang masuk kelompok talent akan belajar olah rasa dan memerankan beragam karakter. Adapun kelompok produksi akan diajari cara pengambilan gambar, lighting dan sound, editing, menjadi produser, serta sutradara.
Beragam manfaat didapat siswa dengan ikut ekskul. Salah satunya, melatih jiwa kepemimpinan seperti berkoordinasi dengan rekan yang lain. Mereka juga harus berani. Misalnya, saat butuh aktor satpam maupun orang tua. Mereka sendiri yang meminta langsung ke petugas satpam atau guru di sekolah untuk membantu menjadi talent. ’’Hampir seluruh guru pernah masuk film buatan anak-anak,’’ ungkap Kepala SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo Enik Chairul Umah. (uzi/c15/ai)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar